Pendahuluan
Berakhirnya
masa perang dingin (post Cold War), menandai munculnya konflik dengan bentuk
yang berbeda dibanding konflik pada masa sebelumnya. Kebanyakan konflik yang
terjadi di dunia merupakan
konflik etnis (inter-etnic conflicts), perang sipil (civil wars) dan bukan lagi
merupakan perang antar negara (inter-state wars). Kebanyakan konflik tersebut
tidak lepas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang didasari oleh akar
etnis dan keagamaan. Selama dekade 1990an, tercatat sekitar lima puluh konflik
etnis masih terjadi, baik berupa konflik yang baru muncul maupun yang merupakan
kelanjutan konflik yang belum terselesaikan.
Diantara
konflik-konflik yang muncul diera 1990an, kasus yang terjadi di Rwanda mungkin
merupakan kasus yang menimbulkan bencana kemanusiaan. Konflik Rwanda yang
puncaknya terjadi pada tahun 1994, antara suku Hutu yang merupakan kelompok
mayoritas (kurang lebih 85 %), dan suku minoritas Tutsi ( 14 %), yang telah banyak memakan korban
dikalangan sipil.
Konflik
antara Tutsi dan Hutu yang terjadi di Rwanda memiliki sejarah panjang, dan
berawal dari pemisahan, baik sosial maupun politik, antara kedua etnis tersebut
semasa berada di bawah kekuasaan kolonial. Sepanjang sejarahnya, ketika
berkuasa baik Tutsi maupun Hutu sama-sama berusaha mempergunakan instrumen-
instrumen negara untuk menindas pihak lainnya.
Sejarah dan Geopolitik Rwanda
Pra Kemerdekaan
Rwanda merupakan sebuah Negara kecil yaitu dengan luas
wilayah 26.000 km persegi, namun memiliki tingkat kepadatan penduduk yang
sangat tinggi. Rwanda berbatasan dengan Uganda, Burundi, Tanzaina, dan Zaire
(Kongo). Negeri ini juga dikenal sebagai “ negeri seribu bukit”.[2]
karena memang kondisi geografisnya yang terdiri dari banyak bukit dan merupakan
wilayah yang subur.
Negara
ini memiliki tiga kelompok masyarakat dengan dua kelompok masyarakat terbesar
yaitu Hutu dan Tutsi, serta satu lagi adalah suku Twa. Etnis Twa merupakan
masyarakat tertua yang pertama kali masuk ke Rwanda, dan dikenal sebagai
masyarakat nomaden dan hidupnya mengumpulkan makanan. Gelombang kedatangan
nenek moyang Tutsi diperkirakan datang
selama abad 15 - 16 yang berasal dari wilayah Utara Afrika. Sedangkan Hutu,
migrasi ke wilayah itu diperkirakan berabad-berabad sebelumnya yang datang dari
wilayah Tengah Afrika. Pada awalnya masyarakat ini membentuk kelompok-kelompok
kecil berdasar garis keturunan & loyalitas terhadap pemimpin. Dan membentuk
bahasa yang sama yaitu bahasa Kinyarwanda, keyakinan agama yang sama, filosofis
dan beberapa aspek kebudayaan lainnya.
Kerajaan
Rwanda berkembang dan mencapai puncaknya pada pada paruh ke-2 abad 19 yaitu
ketika Raja Rwabugiri berkuasa antara tahun 1860-1895. Pada saat itu Rwabugiri
mengeluarkan kebijakan dengan melakukan pemberontakan struktur sosial dan
politik, diantaranya yaitu dengan membuat ketentuan yang keras terhadap
silsilah Hutu dan Tutsi dengan menyita tanah mereka, dan mengambil alih
kekuasaan politik mereka. Sejalan dengan tumbuhnya sentralisme kekuasaan, pemerintahan
Rwabugiri juga memanipulasi kategori sosial dan memperkenalkan perbedaan etnis
Hutu dan Tutsi yang didasarkan pada posisi sosial historis, sehingga mengawali
polarisasi dan politisasi di Rwanda.
Kerajaan
Rwanda jatuh ditangan Jerman (berdasarkan perjanjian Anglo-German) pada tahun
1890, yang memasukkan Rwanda dan Burundi sebagai wilayah Jerman Afrika Timur.
Tetapi baru pada tahun 1897 secara efektif melaksanakan kekuasaanya berlangsung
hingga tahun 1916. Sebagai akibat dari PD 1, Inggris dan Belgia memasuki Jerman
Afrika Timur. Pada tahun 1922, mandat pengaturan Rwanda-Urundi diserahkan pada
Belgia yang melakukan konsolidasi dengan Kongo (berdasar mandat LBB). Namun hal
ini berujung pada penyalahgunaan kewenangan dan justru akhirnya nantinya mengantarkan
pada sebuah konflik etnis di Rwanda. PBB membebankan tugas kepada Belgia untuk
meningkatkan kemajuan dibidang politik, sosial dan pendidikan penduduk Rwanda.
Akan tetapi kolonialisme justru memberlakukan peraturan yang membuat
batsan-batasan kategori etnis menjadi semakin kental. Semakin sulit untuk
mengubah status sosial ataupun kelompok etnis seseorang, karena Tutsi dianggap
sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan sedangkan Hutu hanya dianggap sebagai
kelompok sub-ordinasi. Sosialisai ideology etnis-rasial terkait dengan
asal-usul setiap kelompok etnis di Rwanda bahwa etnis Twa merupakan kelompok
pemburu, pengumpul makanan dan Hutu yang dianggap sedikit lebih baik
dibandingkan dengan Twa serta menganggap bahwa Tutsi merupakan etnis yang
paling baik dibandingkan keduannya. Interpretasi sejarah semacam ini merupakan
alat yang digunakan pemerintah kolonial untuk memprtahankan tatanan sosial
politik di dalam masyarakat Rwanda. Bangsa Eropa meyakini bahwa Tutsi
menyerupai mereka, sehingga dipemerintahanpun didominasi oleh Tutsi. Sikap
dikriminasi ini memperkuat hegemoni Tutsi dan menimbulkan monopoli politik dan
administratif ditangan bangsawan Tutsi. Eksploitasi disparitas kedua etnis yang
dilakukan oleh penguasa Belgia bukan hanya terjadi pada sektor kekuasaan.
Selain disingkirkan dari posisi kekuasaan, Hutu juga dilarang mendapatkan
pendidiklan tinggi yang berarti juga berdampak terhadap akses kerja dan karier.
Pada tahun 1993, Belgia bahkan mengeluarkan kebijakan dengan menerapkan
penggunaan kartu identitas bagi tiap warga. Sejak saat itu, semua warga Rwanda
harus dikaitkan dengan kelompok etnisnya yang akan menentukan jalan dan
keberuntungannya di masyarakat. Bahkan yang baru lahirpun dicatat sebagai
apakah Twa, Hutu atau Tutsi.
Hal
tersebut memicu munculnya perjuangan kemerdekaan dari Hutu. Sehingga sering
disebut perjuangan kemerdekaan, perjuangan etnis antara Hutu dan Tutsi untuk
menguasai alat Negara, sehingga menjadi sebuah politik etnis. Perubahan iklim
yang terjadi pada 1950an, mendukung perjuangan Hutu. Belgia terus mendapat
tekanan dari PBB akibat dari ketidakstabilan kondisi tersebut. Sedangkan di
lain pihak, Kongo (Zaire) yang nmerupakan Negara tetangga dari Rwanda juga
merdeka, sehingga hal ini juga menjadi salah satu pemicu bagi Rwanda untuk segera
mendapatkan kemerdekaanya. Pada tahun 1959, pasca kekacauan, pemerintah Belgia
mengganti sekitar setengah penguasa Tutsi dengan Hutu. Dua tahun berikutnya
yaitu tepatnya pada tahun 1961, Permehutu sebuah partai eksklusif bagi Hutu
berhasil meraih kemenangan dalam pemilu melalui referendum. Pada Januari 1962,
Rwanda mendapatkan otonomi internal dan resmi merdeka 1 Juli 1962. Akan tetapi
antara tahun 1959-1961 merupakan sebuah permulaan problem pengungsi berbau
etnis bagi warga tersebut.
Pasca Kemerdekaan
Kemenangan Permehutu pada pemilu tahun 1961 menetapkan
Gregoire Kayibanda sebagai presiden pertama Rwanda. Kebijakan mengenai kartu
identitas yang dahulu diterapkan oleh pemerintah Tutsi dijadikan alat untuk
melakukan diskriminasi balik terhadap Tutsi. Anggapan bahwa Tutsi sebagai
bangsa yang mempunyai kelebihan, dijadikan justifikasi atas tindakan kekerasan
selama revolusi dan diskriminasi pada tahun-tahun berikutnya. Rezim Kayibanda
yang berkuasa dari tahun 1962-1973, cenderung menggunakan tindakan represif
dalam pelaksanaan kebijakannya, salah satunya yaitu dengan menyingkirkan mantan
politisi Tutsi yang menolak bergabung dengan Permehutu.[3]
Ketidakadaan pengalaman memerintah mnejadikan Pemerintahan Kayibanda hanya
mengadopsi tradisi sentralisme kerajaan yang digunakan Tutsi. Sehingga yang
terjadi adalah pergantian elite penguasa dan kontinuitas sejarah dalam baju
yang berbeda.
Stagnasi
ekonomi dan sentiment anti Tutsi yang terjadi pada tahun 1973, menjadikan
Jenderal Juvenal Habyarimana melakukan kudeta terhadap Kayibanda, yaitu dengan
alasan untuk menghindari kemungkinan bangkitnya etnis Tutsi yang sedang
tertindas. Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Habyarimana ini lebih berfokus
kepada wilayah Gisenyi dan Ruhengeri ( Belahan Utara). Dan 2 tahun berikutnya,
pada tahun 1975 Rwanda berubah menjadi Negara dengan 1 partai yaitu di bawah
MRND (Mouvement Revolutionnaire National Parle Development).
Fase
konflik etnis Rwanda tahun 1990-1994
Konflik etnis yang muncul di Rwanda
selama tahun – tahun kekacauan politik tersebut terjadi dalam tiga fase. Pada
tahun 1959 di sejumlah provinsi muncul gerakan lokal anti Tutsi. Ratusan orang
terbunuh dan banyak orang dari suku Tutsi yang meninggalkan negeri tersebut.
Pada tahun 1961, setelah runtuhnya kerajaan, partai pergerakan emansipasi Hutu
( Parti du Mouvement et de I`emancipation
des Bahutu- Parmehutu), yang merupakan partai radikal anti Tutsi,
memenangkan pemilihan umum. Orang – orang Tutsi, termasuk para mantan penguasa
semakin banyak yang melarikan diri ke negara-negara tetangga. Dari tahun
1961-1964, sebagian dari parapengungsi Tutsi tersebut mencoba kembali ke
negerinya dengan melakukan serangan gerilya dari Burundi dan Uganda. Upaya ini
bukan hanya dengan mudah digagalkan, akan tetapi juga menyebabkan terjadinya
pembunuhan masal terhadap penduduk sipil Tutsi yang masih ada di dalam negeri.
Para pengungsi Tutsi di Uganda
mengalami penderitaan di bawah penguasa diktator yang memerintah Uganda, baik
masa Idi Amin maupun milton Obote. Penderitaan dan kesulitan hidup di
pengungsian membuat mereka sangat ingin kembali ke negara asal. Upaya
mewujudkan keinginan itu berulang kali dilakukan, termasuk dengan jalan
mengangkat senjata, namun selalu di gagalkan dan bahkan direspon dengan
kekerasan brutal oleh penguasa Hutu di Rwanda. Tahun 1988, para pengungsi Tutsi
yang menempati kamp-kamp pengungsian di Uganda itu membentuk Front Patriotik
Rwanda (FPR), sebuah kelompok politik dan militer yang bertujuan untuk
mengembalikan warga Rwanda yang berada di pengungsian, dan membentuk
pemerintahan nasional yang didasarkan pada pembagian kekuasaan(power
sharing)antara kedua etnis utama di Rwanda.
Rezim Habyarimana menolak resolusi
damai mengenai status pengungsi Tutsi dan menolak kehadiran mereka kembali ke
Rwanda. Penolakan
inilah yang memicu terjadinya invasi militer pasukan FPR pada tanggal 1 oktober
1990. Serangan
ini membuka babak baru permusuhan berdarah antara Tutsi dan Hutu ,dan
mengantarkan negeri tersebut kedalam perang sipil. Angkatan Bersenjata
Rwanda dengan bantuan tentara Perancis
dan Zaire, berhasil memaksa
mundur pemberontak FPR yang selanjutnya mereorgaisasi kekuatannya dan
melancarkan perang gerilya di
utara Rwanda di bawah komando Paul Kagame. Melalui serangkaian
serangan ofensif, FPR
telah berhasil menguasai 5% wilayah Rwanda yaitu sepanjang perbatasan dengan
Uganda, pada
saat disepakatinya gencatan senjata di bulan Agustus 1993.
Invasi yang dilancarkan oleh FPR
menjadi ancaman serius bagi rezim Habyarinama, namun serangan tersebut juga memberikan
kesempatan kepada Habyarinama untuk membangun kembali kekuatannya yang tengah
pudar dengan mengumpulkan semua warga Rwanda untuk melawan musuh. Rezim Habyarinama juga
memainkan peran secara langsung dalam mempersenjatai sipil, dengan alasan sebagai
pembelaan diri terhadap invasi dari pihak luar (Tutsi yang berbasis di
Uganda ).
Menghadapi serangan ofensif FPR, Rezim Habyarinama menganggap semua Tutsi,bukan hanya FPR
sebagai ancaman.Pasca invasi FPRdi awal Oktober itu,Tutsi yang ada di dalam
negeri ditangkap dan dipenjarakan.Kebanyakan dari mereka akhirnya dilepas
beberapa bulan selanjutnya,
setelah
dilakukan tekanan Internasional.
Banyak
dari mereka disiksa dan
dibunuh. Invasi
FPR juga mendorong pengembangan tentara pemerintah secara cepat.
Meningkatnya ketegangan pasca
invasi FPR yang disertai meledaknya problem pengungsi menimbulkan perhatian dan
reaksi Internasional, baik
di tingkat regional maupun Eropa.
Perancis
dan Zaire memilih membantu pemerintah Rwanda. Aktor-aktor lainnya, seperti Belgia dan
negara-negara kunci di wilayah itu memulai upaya-upaya diplomasi bagi
penyelesaian konflik. Di bawah mediasi pihak
ketiga itu, rezim
pemeritah Rwanda dan FPR akhirnya menyepakati gencatan senjata pada tahun 1991. Namun gencatan senjata
tersebut berulang kali dilanggar kedua belah pihak yang bertikai.
Presiden Habyarinama, di bawah tekanan dari
oposisi domestik, FPR, negara-negara donor dan
negara-negara tetangga, akhirnya
menyetujui perjanjian damai penuh dengan FPR dan partai-partai oposisi menyetujui transisi
menuju demokrasi. Melalui
serangkaian negosiasi yang berlangsung di Tanzania sejak pertengahan 1992. Pemerintah Rwanda dan
FPR akhirnya menandatangani kesepakatan Damai Arusha (the Arusha Peace
Agreement) pada tanggal 4 Agustus 1993. Implementasi perjanjian ini akan berada
dalam pengawasan PBB yang akan menyediakan
pasukan Internasional yang netral dengan funsi tugas keamanan yang luas di bawah Piagam PBB. Kesepakatan-kesepakatan
yang telah dicapai, termasuk
pembagian kekuasaan antara partai penguasa dan partai-partai oposisi selama berbulan-bulan
tidak juga dapat terlaksana.
Situasi
politik Rwanda tetap diwarnai oleh meningkatnya suhu politik yang terus memanas.
Pada tanggal 6 April 1994, pesawat pribadi milik
presiden Habyarinama (hadiah
dari presiden prancis Francois Mitterand) di tembak jatuh dekat bandar udara
Kigali, menewaskan
Habyarinama dan presiden Burundi Cypien Ntarymira. Kedua presiden tersebut baru saja
kembali dari pelaksanaan KTT
para
pemimpin regional yang berlangsung di Tanzania. Peristiwa ini membuat
situasi memanas dan memicu kembali pecahnya konflik..Peristiwa ini mengawali
terjadinya upaya
pemusnahan etnis dan pembantaian secara sistematis dan terorganisir atas etnis
Tutsi dan oposisi Hutu,serta kembali memicu perang sipil di Rwanda.
Kekuatan internasional tidak dapat
mencegah dan menghentikan terjadinya genosida. Genosida di Rwanda baru
berakhir setelah pasukan FPR berhasil menguasai negeri tersebut. Serangan-serangan
ofensif yang dilancarkan oleh FPR atas pasukan pemerintah akhirnya membuahkan
hasil. Dalam
waktu 3 bulan, pasukan
FPR berhasil menguasai wilayah wilayah penting sebelum akhirnya
menyatakan gencatan senjata pada tanggal 18 juli. Dua minggu setelah
menguasai kota Kigali, FPR
mengumumkan pemerintahan baru
yang
diantaranya beranggotakan para pemimpin FPR dan menteri-menteri yang sebelumnya
terpilih untuk melaksanakan pemerintahan transisi yang sebagaimana telah di
sepakati dalam perjanjian Arusha.
Pasca genosida yang terjadi antara
April-Juni 1994 Rwanda muncul sebagai tipe negara baru, yang ditandai dengan
dua keyakinan. Pertama, pasca
genosida negara merasa bertanggung jawab atas keamanan Tutsi secara global, dan bukan hanya didalam
negeri Rwanda. Kedua, negara
ini juga meyakini bahwa prasyarat yang akan menentukan kelangsungan hidup Tutsi adalah kekuasaan
Tutsi; jika Tutsi kehilangan
kekuasaan, mereka
akan kehilangan nyawa .
Keterlibatan Pihak Ketiga dan Upaya Penyelesaian
Konflik
Sejak pecahnya perang antara tentara pemerintah dengan
pemberontak FPR dibulan Oktober 1990, telah dilakukan upaya perdamaian dengan
melibatkan sejumlah Negara di kawasan tersebut. Pada tanggal 17 Oktober 1990
terjadi pertemuan dengan Presiden Moi (Kenya) dan Mwinyi (Tanzania), Presiden
Rwanda menyetujui gencatan senjata dengan pasukan pemberontak. Namun genjatan
tersebut hanya berlangsung selama tiga minggu.[4]
Pada 29 Maret 1991, dalam pembicaraan dengan
Habyarimana yang berlangsung di N`sele, Zaire, Presiden Mobutu mengusulkan
penghentian permusuhan sesegera mungkin sebagai langkah awal sebelum memulai
perundingan mengenai pembagian kekuasaan, dan untuk pertama kalinya Habyarimana
menyetujui perundingan secara langsung dengan FPR. Perundingan damai antara
pemerintah Rwanda dan Pemberontak FPR akhirnya dapat terlaksana berkat mediasi
Tanzania yang mendapat mandate dari OAU. Perundingan tersebut dilaksanakann di
Arusha, Tanzania, dan berlangsung sejak Juni 1992 sampai dengan Agustus 1993.
Sejumlah perwakilan dari Jerman, Belgia,PBB, Amerika Serikat, Burundi, Uganda,
Zaire dan OAU turut hadir sebagai pengamat dalam perundingan damai tersebut.
Di akhir 1993, dengan kondisi perekonomian negaranya
yang tidak stabil sebagai akibat dari konflik, Rezim Habyarimana mendapatkan
ancaman dari Negara-negara donor dan Bank Dunia bahwa bantuan yang selama ini
dialirkan bagi pemerintahannnya akan dihentikan apabila Habyarimana tidak
bersedia menandatanagani kesepakatan damai sebelum tanggal 9 Agustus. Dan
karena memang kondisinya sangat menyulitkan, maka akhirnya Habyarimana bersedia
menendatangani Kesepakatan Damai Arusha dengan partai-partai lainnya pada
tanggal 4 Agustus 1993, meskipun juga mendapat tentangan dari kalangan
Ekstrimis Hutu. Isi dari Kesepakatan Damai Arusha tersebut memuat tentang
ketentuan-ketentuan mangenai pembagian kekuasaan dalam pemerintahan, intergrasi
kedua pasukan (FPR dan tentara pemerintah), rencana rinci yang mengatur tentang
perubahan status dari tentara menjadi masyarakat sipil, prosedur demokratisasi
dalam kancah politik Rwanda, dan pembentukan pemerintahan transisi koalisi yang
disebut dengan the Broad Based Transitional Governmen. Berdasarkan kesepakatan
damai tersebut, PBB akan berperan besar melalui Pasukan Internasioanal yang
Netral (The Neutral Internasional Force-NIF) yang bertugas mengawasi dan
membantu langkan implementasi perjanjian tersebut selama masa transisi.
PBB mempunyai peran khusus dalam upaya perdamaian
tersebut. Dengan dipimpin oleh Brigjen Romeo A. Dallaire, seorang perwira
tinggi Kanada yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pengamat Miiter PBB untuk
perbatsan Uganda-Rwanda, UNOMIR. Misi ini setidaknya mempunyai empat tahapan
dalam proses intervensinya. Tahap pertama yaitu pengiriman tim yang terdiri
dari personil militer, personil sipil dan polisi sipil setelah mendapat
otorisasi formal dari DK-PBB. Dan berlangsung selama 90 hari dengan tugas
mengamankan Kigali dan menciptakan kondisi yang dibutuhkan bagi pembentukan
pemerintah transisi. Tahap kedua, dengan tugas utama demobilisasi dan integrasi
angkatan bersenjata dan polisi Nasional dan berlangsung selama 90 hari.
Dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu Integrasi angkatan bersenjata akan
ditumntaskan dan dengan mengurangi jumlah militer. Pada tahap akhir, pelaksanaan
misi PBB tersebut, dikurangi kekuatannya.
Melalui resolusi 872 DK-PBB, dibentuklah sebuah misi
khusus PBB untuk Rwanda yang disebut dengan UNAMIR (United Nations Assisance
Mission For Rwanda) pada 5 Oktober 1993 dan mulai bekerja pada 1 November 1993.
Sampai dengan masa tugasnya berakhir, UNAMIR tidak dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik. Sehingga pada akhirnya DK-PBB memutuskan untuk membentuk UNAMIR II
dengan mamberikan mandat yang lebih luas dan memerikan penambahan jumlah
personil militer. Kemudian DK-PBB memberlakukan embargo senjata, amunisi dan
materi lain yang terkait ke Rwanda serta melarang penjualan senjata kepada
warga Rwanda melalui teritori Negara-negara lain.
Permintaan PBB kepada dunia internasional untuk
memenuhi kebutuhan pasukan UNAMIR II mendapat respon dingin dari Negara-negara
besar dalam mendukung operasi tersebut. Sementara itu situasi keamanan di
Rwanda, pasca terbunuhnya Presiden Habyarimana, semakin memburuk akibat dari
pecahnya perang dan upaya genosida. Keadaan ini mendorong Sekjen PBB
merekomendasikan kepada DK untuk mempertimbangkan tawaran Prancis untuk
membantu menghadapi krisis kemanusiaan di Rwanda tersebut. Dan akhirnya melalui resolusinya, DK-PBB
memberikan otoritas kepada Perancis untuk melaksanakan Operasi Turquoise,
sebuah operasi militer unilateral dengan tujuan memberikan perlindungan kepada
para pengungsi dan mengamankan bantuan kemanusiaan. Kemudian Operasi tersebut
akhirnya ditarik mundur pada 21 Agustus di tengah kritikan adaya kepentingan
Perancis di balik operasi tersebut. Dengan ditariknya operasi Turquoise secara
penuh, tanggung jawab zona perlindungan kemanusiaan ( humanitarian protection zone ) dilanjutkan secara penuh berada di
tangan UNAMIR. Namun pada ahkirnya UNAMIR tidak begitu berhasil dalam upaya
perdamaian ini kerena DK-PBB menetapkan mandat yang lebih terbatas.
Meskipun telah berlangsung berbulan-bulan sejak
ditandatangani, implementasi Kesepakatan Damai Arusha jauh dari kenyataan.
Kebuntuuan politik bardampak pada merosotnya situasi keamanaan, terutama di
Kigali dan menjadi ancaman serius terhadap implementasi rencana perdamaian
secara keseluruhan. Ketegangan di Kigali semakin meningkat diawal tahun 1994,
membuat para pemimpin faksi-faksi ekstrim dari partai MRND pimpinan Habyarimana
berusaha menggagalkan pembentukan pemerintahan baru dan memaksa UNAMIR untuk
mundur dari Rwanda dengan memunculkan lebih banyak kekerasan dan memprovokasi
terjadinya perang sipil. Peringatan kemungkinan pecahnya kekerasan secara
besar-besaran di Rwanda yang dikirim oleh Jenderal Dallaire juga diabaikan oleh
Kantor Pusat PBB.
Sementara, DK-PBB yang dipelopori oleh AS dan di
dukung oleh Belgia dan Inggris, menolak permintaan tersebut, dengan alasan
biaya dan tanggung jawab PBB terhadap peacekeeping secra keseluruhan. Pada
tanggal 6 April 1994 Presiden Rwanda dan Burundi terbunuh ketika pesawat yang
ditumpanginya ditembak jatuh dekat Bandar udara Kigali. Peristiwa ini diikuti
oleh pembantaian secara sistematis terhadap etnis Tutsi dan oposisi moderat
Hutu di Kigali, yang sebelumnya telah diidentifikasi oleh Tentara Pemerintah
Rwanda dan Interahanwe. Aksi genosida dengan cepat menyebar ke kota-kota lain
dan pertempuran antara FPR dan Tentara Pemerintah Rwanda kembali pecah.Sebagai
akibatnya, dalam kurun waktu sekitar tiga bulan (April-Juni 1994) antara
500.000 sampai 800.000 orang terbunuh, dua juta orang mengungsi ke
Negara-negara tetangga dan satu juta lainnya terlantar di berbagai tempat di
Rwanda. Dengan situasi ini kemudian DK-PBB menarik jumlah pasukan UNAMIR secara
drastis.
Kesimpulan dan Analisis
Sebagaimana proses perkembangan konflik saat ini atau
khususnya pasca perang dingin (post cold war), maka Perang tidak lagi terjadi
dalam skala inter-state wars, tetapi perang yang terjadi cenderung dalam
lingkup local suatu Negara atau intra-state wars. Dan sebagaimana kasus yang
kami ambil kali ini, maka dapat kita golongkan sebagai intra-state wars atau
lebih tepatnya sebagai perang identitas (identity wars) yaitu perang atau
konflik yang dipicu oleh masalah identitas yang berbeda yang kemudian hal ini
tidak bisa saling meredam tetapi justru perbedaan ini semakin terlihat
disparitasnya. Sehingga sekali terpantik api ketidakadilan yang didasarkan pada
perbedaan identitas ini, maka akan dengan sangat mudah menyulut kepada konflik
atau perang dalam skala yang besar.
Konflik yang terjadi di Rwanda sebenarnya
tidak hanya melibatkan dua suku yang berbeda di Rwanda. Tetapi konflik
identitas ini diperbesar dengan adanya ikut campur dari negara-negara lain baik
yang mendukung Tutsi maupun Hutu. Negara negara seperti Burundi, Tanzania,
Zaire merupakan pendukung dari etnis
Hutu. Sedangkan etnis Tutsi mendapatkan dukungan dari Uganda.
Banyak faktor yang menjadikan kegagalan dalam upaya
penyelesaian konflik di Rwanda ini. Keterlibatan pihak ketiga seperti Perancis,
beberapa Negara tetangga dan juga PBB ternyata tidak mampu menghalangi
terjadinya kasus genosida di Rwanda. Terbatasnya mandat yang diberikan DK-PBB
kepada UNAMIR baik I maupun II, terbatasnya jumlah pasukan maupun persenjataan
yang kurang memadai menjadikan operasi tersebut tidak cukup mampu meredam
konflik. Keberadaan UNAMIR oleh PBB yang bertujuan untuk melakukan tindakan
preventif menjadi penuh tanda tanya, kenapa kondisi yang sedemikian besar
potensi konfliknya tetapi hanya diberikan mandate dan sumber daya yang
terbatas, dan mengapa ketika konflik hamper pecah tetapi malah dilakukan
pengurangan jumlah pasukan secara drastic. Tanda – tanda akan adanya potensi
konflik dalam skala besar tersebut seharusnya dapat dibaca oleh Negara-negara
besar maupun PBB. Namun lemahnya pitical
will dari Negara-negara besar yang mungkin karena tidak ada kepentingan
nasional di situ kecuali Perancis baik kepentingan politis maupun strategis
membuat konflik di Rwanda tidak bisa dicegah dan tidak “diminati” oleh Negara-negara
yang seharusnya mampu melakukan langkah pencegahan.
DAFTAR PUSTAKA
Rudy, May, Hubungan
Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global : Isu, Konsep, Teori dan
Paradigma, Bandung : Refika Aditama, 2003.
Crocker, Chester A., Fen Olser Hampson, dan Pamela Aall,
Leashing The Dogs of War: Conflict
Management in a Devided World, Washington.D.C, United States Institute of
Peace, 2007.
Jentleson, Bruce W, Opportunities Missed Opportunities Seized: Preventive Diplomacy In The
Post-Cold War World, United States of Amerika, Rowman and Littlefield
Publishers, 2000.
Johnson, Paul
M, Kamus Ekonomi dan Politik,
Jakarta: Teraju, 2003.
D.R.L. Ludlow, “ Humanitarian
Intervention and the Rwandan Genocide “, The Journal of Conflict Studies,
Spring 1999, hlm.34
Rakiya Omaar, Alex de Waal, U.S. Complicity By Silence,
Genocide in Rwanda,
Peter Univ, “ Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda:
Different Paths to Mass Violent”, Comparative Politics, Vol. 31, No.3,
April 1999, hlm.257.
Laporan KBRI
Darussalam, Tanzania, Tahun 1990/1991,hlm.104-105
Situs Website
[1] D.R.L. Ludlow, “ Humanitarian
Intervention and the Rwandan Genocide “, The Journal of Conflict Studies,
Spring 1999, hlm.34
[2] Rakiya Omaar, Alex de Waal, U.S. Complicity By Silence, Genocide
in Rwanda, www.sifithra.com/rwanews.htm.
[3] Peter Univ, “ Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda:
Different Paths to Mass Violent”, Comparative Politics, Vol. 31, No.3,
April 1999, hlm.257.
0 komentar:
Posting Komentar