Senin, 20 Februari 2012

konflik identitas " Jalan panjang menuju Papua damai "


JALAN PANJANG MENUJU PAPUA DAMAI

Rentetan konflik yang terjadi di Papua sepertinya belum bisa ditemukan titik terang dalam hal penyelelesaiannya. Sebagaimana kita saksikan beberapa saat yang lalu, yaitu pada tanggal 1 Desember 2011, ribuan rakyat papua baru saja merayakan hari yang diyakini sebagai hari kemerdekaan Papua. Ditambah lagi beberapa kasus penembakan yang terjadi di Papua, meningkatnya aksi demonstrasi serta beberapa konflik lainnya mengindikasikan bahwa konflik Papua mengalami intensitas yang semakin tinggi dan menuntut adanya langkah penyelesaian konflik sesegera mungkin dari pemerintah. Hal ini menggambarkan sebuah akumulasi dari rasa ketidakpuasan rakyat papua atas kondisi saat ini. Dan menyiratkan impian bahwa rakyat papua sangat mendambakan “kemerdekaan” bagi kesejahteraan, keadilan serta keamanan manusiannya, yang hal itu belum bisa mereka dapatkan sepenuhnya dari pemerintah Indonesia.
Pemberian otonomi khusus  berdasarkan UU 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2008, pada kenyataannya belum mampu merubah wajah Papua. Otonomi Khusus (Otsus) untuk Propinsi Papua ditujukan untuk meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan pendayagunaan keseluruhan penduduk Propinsi Papua, khususnya masyarakat asli Papua. Namun pada kenyataannya tingkat pendidikan yang masih sangat rendah, kesehatan yang belum memadai berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat Papua saat ini.
Hal lain yang menjadi akar permasalahan di Papua adalah kesenjangan persepsi sejarah mengenai status integrasi antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan mereka sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama10 tahun rencana pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation Temporary Administration – Pemerintahan Sementara PBB) bertanggung jawab dalam periode transisi. Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang penting; Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar berdampingan dengan bendera Belanda. Akan tetapi, “Perjanjian New York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari Papua, dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia. Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan rakyat papua mengenai sejarah yang berakar pada status integrasi Papua dengan NKRI. Sehingga selama sejarah integrasi ini tidak dianalisis secara benar dan terbuka antara Papua dengan Pemerintah Indonesia, maka kesenjangan persepsi sejarah ini akan senantiasa terpelihara dan melatarbelakangi terjadinya konflik.
Pemerintah perlu belajar banyak dari dua masalah ini. Karena setiap orang pada dasarnya membutuhkan terpenuhinya empat hak dasar yang harus terpenuhi yaitu personal development, security, recognition dan identity. Hak- hak dasar tersebut haruslah didapatkan oleh seluruh rakyat Papua. Sebagaimana yang dialami masyarakat Papua selama ini, kesejahteraan yang masih rendah yang berakar dari ketimpangan ekonomi, anggapan yang memandang rendah nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat papua serta sikap-sikap diskriminatif dan tidak akomodatif terhadap mereka, mengindikasikan bahwa hak-hak dasar tersebut belum sepenuhnya didapatkan rakyat Papua. Keinginan Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah akumulasi dari rasa ketidakpuasan Papua terhadap pemerintah Indonesia yang sudah sekian lama mereka rasakan. Pada tingkat Negara, ketika kebutuhan suatu identitas tidak dipenuhi oleh Pemerintah, maka hal ini akan memicu adanya gerakan ethno-nasionalis.
Sehingga pelaksanaan dialog seperti yang sudah sering dilaksanakan di Papua perlu diperhatikan kembali substansinya. Dialog memang bisa menjadi salah satu media penyelesaian konflik, tetapi yang lebih penting adalah kompromi untuk mencapai hak-hak dasar dalam pelaksanaan dialog tersebut. Pelaksanaan Otsus perlu mendapatkan evaluasi yang lebih serius dari Pemerintah. Lahirnya otsus sejak tahun 2001, pada kenyataannya belum mampu mengangkat Papua dari lembah kemiskinan. Otonomi yang diharapkan Papua bukanlah sekedar kenaikan anggaran. Hal ini tidak kunjung mampu menjadi solusi bagi Papua, karena pada dasarnya rakyat Papualah yang seharusnya menjadi penerima manfaat maupun pelaku dalam upaya perubahan kondisi sosial tersebut. Sehingga kebijakan-kebijakan yang seharusnya diambil adalah kebijakan yang sesuai dengan kebudayaan lokal, pendekatan keamanan yang lebih tepat, serta pengakuan-pengakuan terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan identitas masyarakat Papua perlu mendapatkan perhatian. Jangan lagi kebijakan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat papua, tetapi hanya digunakan oleh segelintir golongan untuk mencapai kepentingannya. Karena kondisi yang demikian akan menciptakan horizontal inequality antar rakyat Papua dengan elite setempat maupun vertical inequalities antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang akan menyulut terjadinya konflik. Dan hal berikutnya yang perlu dicermati pemerintah adalah mengenai status integrasi Papua dengan NKRI. Perbedaan mengenai status sejarah tersebut perlu mendapatkan kajian terbuka dan bisa tercapai sebuah kesepakatan bersama antara Papua dengan Pemerintah.
Sehingga adanya rencana dialog antara Jakarta dengan Papua, sudah seharusnya dilakukan pembahasan secara konferhensif terkait isu-isu penting yang selama ini menjadi akar konflik di Papua. Pertemuan juga seharusnya melibatkan tokoh-tokoh yang representatif dari Papua, sehingga bisa menyuarakan apa yang kemudian menjadi kepentingan rakyat Papua dan kebijakan yang seperti apa yang mampu mengantarkan proses perubahan kondisi sosial maupun ekonomi di Papua. Dan kita perlu bersama-sama berharap bahwa dengan dibukanya pintu dialog tersebut, akan ada sebuah kompromi dan apa yang menjadi kebutuhan Papua bisa segera terealisasikan serta menjadikan Papua dalam kondisi yang lebih baik, sebagai bagian dari kesejahteraan dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar