JALAN PANJANG MENUJU PAPUA DAMAI
Rentetan konflik yang terjadi di Papua
sepertinya belum bisa ditemukan titik terang dalam hal penyelelesaiannya.
Sebagaimana kita saksikan beberapa saat yang lalu, yaitu pada tanggal 1
Desember 2011, ribuan rakyat papua baru saja merayakan hari yang diyakini
sebagai hari kemerdekaan Papua. Ditambah lagi beberapa kasus penembakan yang
terjadi di Papua, meningkatnya aksi demonstrasi serta beberapa konflik lainnya
mengindikasikan bahwa konflik Papua mengalami intensitas yang semakin tinggi
dan menuntut adanya langkah penyelesaian konflik sesegera mungkin dari
pemerintah. Hal ini menggambarkan sebuah akumulasi dari rasa ketidakpuasan
rakyat papua atas kondisi saat ini. Dan menyiratkan impian bahwa rakyat papua
sangat mendambakan “kemerdekaan” bagi kesejahteraan, keadilan serta keamanan
manusiannya, yang hal itu belum bisa mereka dapatkan sepenuhnya dari pemerintah
Indonesia.
Pemberian otonomi khusus berdasarkan UU 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi
UU 35 Tahun 2008, pada kenyataannya
belum mampu merubah wajah Papua. Otonomi
Khusus (Otsus) untuk Propinsi Papua ditujukan untuk meningkatkan
layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan pendayagunaan
keseluruhan penduduk Propinsi Papua, khususnya masyarakat asli Papua. Namun
pada kenyataannya tingkat pendidikan yang masih sangat rendah, kesehatan
yang belum memadai berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan
masyarakat Papua saat ini.
Hal lain yang
menjadi akar permasalahan di Papua adalah kesenjangan persepsi sejarah mengenai
status integrasi antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua
dari Hindia untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan mereka
sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama10 tahun rencana
pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation
Temporary Administration – Pemerintahan Sementara PBB) bertanggung jawab dalam
periode transisi. Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah
dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang
penting; Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di
Papua sebagai 50% dari Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora
berkibar berdampingan dengan bendera Belanda. Akan tetapi, “Perjanjian New
York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari Papua, dibuat
sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda
ke Indonesia. Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan rakyat papua
mengenai sejarah yang berakar pada status integrasi Papua dengan NKRI. Sehingga
selama sejarah integrasi ini tidak dianalisis secara benar dan terbuka antara
Papua dengan Pemerintah Indonesia, maka kesenjangan persepsi sejarah ini akan
senantiasa terpelihara dan melatarbelakangi terjadinya konflik.
Pemerintah
perlu belajar banyak dari dua masalah ini. Karena setiap orang pada dasarnya
membutuhkan terpenuhinya empat hak dasar yang harus terpenuhi yaitu personal development, security, recognition dan identity. Hak- hak dasar tersebut
haruslah didapatkan oleh seluruh rakyat Papua. Sebagaimana yang dialami
masyarakat Papua selama ini, kesejahteraan yang masih rendah yang berakar dari
ketimpangan ekonomi, anggapan yang memandang rendah nilai-nilai kebudayaan dan
kearifan lokal masyarakat papua serta sikap-sikap diskriminatif dan tidak
akomodatif terhadap mereka, mengindikasikan bahwa hak-hak dasar tersebut belum
sepenuhnya didapatkan rakyat Papua. Keinginan Papua untuk memisahkan diri dari
Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah akumulasi dari rasa ketidakpuasan Papua
terhadap pemerintah Indonesia yang sudah sekian lama mereka rasakan. Pada
tingkat Negara, ketika kebutuhan suatu identitas tidak dipenuhi oleh
Pemerintah, maka hal ini akan memicu adanya gerakan ethno-nasionalis.
Sehingga
pelaksanaan dialog seperti yang sudah sering dilaksanakan di Papua perlu
diperhatikan kembali substansinya. Dialog memang bisa menjadi salah satu media
penyelesaian konflik, tetapi yang lebih penting adalah kompromi untuk mencapai
hak-hak dasar dalam pelaksanaan dialog tersebut. Pelaksanaan Otsus perlu
mendapatkan evaluasi yang lebih serius dari Pemerintah. Lahirnya otsus sejak
tahun 2001, pada kenyataannya belum mampu mengangkat Papua dari lembah
kemiskinan. Otonomi yang diharapkan Papua bukanlah sekedar kenaikan anggaran.
Hal ini tidak kunjung mampu menjadi solusi bagi Papua, karena pada dasarnya
rakyat Papualah yang seharusnya menjadi penerima manfaat maupun pelaku dalam
upaya perubahan kondisi sosial tersebut. Sehingga kebijakan-kebijakan yang
seharusnya diambil adalah kebijakan yang sesuai dengan kebudayaan lokal,
pendekatan keamanan yang lebih tepat, serta pengakuan-pengakuan terhadap
nilai-nilai kearifan lokal dan identitas masyarakat Papua perlu mendapatkan
perhatian. Jangan lagi kebijakan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat
papua, tetapi hanya digunakan oleh segelintir golongan untuk mencapai kepentingannya.
Karena kondisi yang demikian akan menciptakan horizontal inequality antar
rakyat Papua dengan elite setempat maupun vertical inequalities antara rakyat
Papua dengan Pemerintah Pusat yang akan menyulut terjadinya konflik. Dan hal
berikutnya yang perlu dicermati pemerintah adalah mengenai status integrasi
Papua dengan NKRI. Perbedaan mengenai status sejarah tersebut perlu mendapatkan
kajian terbuka dan bisa tercapai sebuah kesepakatan bersama antara Papua dengan
Pemerintah.
Sehingga
adanya rencana dialog antara Jakarta dengan Papua, sudah seharusnya dilakukan
pembahasan secara konferhensif terkait isu-isu penting yang selama ini menjadi
akar konflik di Papua. Pertemuan juga seharusnya melibatkan tokoh-tokoh yang
representatif dari Papua, sehingga bisa menyuarakan apa yang kemudian menjadi
kepentingan rakyat Papua dan kebijakan yang seperti apa yang mampu mengantarkan
proses perubahan kondisi sosial maupun ekonomi di Papua. Dan kita perlu
bersama-sama berharap bahwa dengan dibukanya pintu dialog tersebut, akan ada
sebuah kompromi dan apa yang menjadi kebutuhan Papua bisa segera terealisasikan
serta menjadikan Papua dalam kondisi yang lebih baik, sebagai bagian dari
kesejahteraan dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar